Laporan Global Wealth Report 2024 dari UBS Global menunjukkan, pangsa kekayaan negara berkembang terus meningkat.
Rinciannya, pada 2008 sebesar 16,43%. Angka pangsa naik menjadi 25,42% pada 2015.
Lalu pada 2020, saat memasuki pandemi Covid-19, pangsa kekayaan negara berkembang tetap naik menjadi 27,07%. Memasuki 2023 proporsinya menjadi 29,26%.
UBS memproyeksikan pangsa kekayaan negara berkembang menjadi 31,88% pada 2028.
Di samping itu, UBS menyebut negara kawasan Asia-Pasifik mengalami pertumbuhan kekayaan yang paling signifikan, meningkat hampir 177% sejak krisis finansial 2008-2009.
Diikuti oleh Amerika dengan hampir 146% dan meninggalkan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (Europe, the Middle East, Africa/EMEA) yang di bawah 44%.
Namun, UBS menjelaskan bahwa pertumbuhan kekayaan finansial dan nonfinansial yang luar biasa di kawasan Asia-Pasifik sejalan dengan lonjakan utang yang substansial. Total utang di kawasan ini telah tumbuh lebih dari 192% sejak 2008, 20 kali lipat pertumbuhan di EMEA dan hampir empat kali lipat dari Amerika.
"Pertumbuhan utang di EMEA agak diredam di bawah 9%, jauh di bawah Amerika yang mencapai hampir 49%," tulis UBS dalam laporannya, dikutip Minggu (25/8/2024).
Salah satu alasan mengapa pertumbuhan utang di Barat relatif rendah adalah karena banyak rumah tangga di Amerika Serikat dan Eropa harus membayar utang selama dekade terakhir setelah "great financial crisis".
Namun, UBS menilai meningkatnya utang tidak selalu berarti buruk. Menurutnya, bukan hal yang aneh jika negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan kredit yang cepat seiring dengan berkembangnya sistem keuangan dan kematangan sistem keuangan.
"Memang, meningkatnya kemakmuran memungkinkan rumah tangga untuk mengambil lebih banyak utang, yang sampai batas tertentu sangat masuk akal, terutama jika utang tersebut digunakan untuk membiayai aset yang cukup aman seperti properti yang ditempati sendiri," kata UBS.
Batasannya, jika utang terus meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi, UBS menilai di titik itulah masyarakat dan negara punya alasan untuk khawatir.