Penulis: Viva Budy Kusnandar
Editor: Annissa Mutia
17/11/2022, 16.00 WIB
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada 16-17 November 2022 memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-days Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25%.
Kenaikan suku bunga BI7DRR secara agresif sebesar 50 bps ini merupakan yang ketiga kalinya secara beruntun sejak Agustus 2022 hingga ke level tertingginya lebih dari 3 tahun terakhir seperti terlihat pada grafik.
Kenaikan ini juga merupakan yang keempat kalinya sepanjang tahun ini. Jika ditotal, kenaikan suku bunga acuan BI telah naik 175 bps sepanjang tahun ini. Dengan kenaikan ini, selisih suku bunga bersih rupiah terhadap dolar AS kembali melebar menjadi 175 bps. Seperti diketahui, bank sentral Amerika kembali menaikkan suku bunga The Fed sebesar 75 bps ke kisaran 3,75-4% pada awal bulan November.
Selain menaikkan suku bunga acuan, RDG BI juga menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,5% dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bs menjadi 6%.
Gubernur BI Perry Wajiyo dalam rilis resminya mengemukakan keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saai ini masih tinggi. Kebijakan ini untuk memastikan inflasi inti ke depan kembali dalam sasaran 3,0+/-1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023.
“Langkah ini juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agara sejalan dengan fundamentalnya akibat menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat,” kata Perry dalam siaran persnya, Kamis (17/11/2022).
BI juga terus memperkuat respon bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi.
Lebih lanjut, Perry mengatakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diprakirakan akan menurun dari 2022 dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika dan Eropa. Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi akibat masih terganggunya rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja, terutama di Amerika dan Eropa. Alhasil, bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Sementara, ekonomi Indonesia terus menguat pada triwulan III 2022 dan tumbuh 5,72% (year on year/yoy), lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,45% (yoy). Pertumbuhan pada periode Juli-September 2022 ditopang oleh berlanjutnya perbaikan permintaan domestik serta tetap tingginya kinerja ekspor.
Tren penguatan dolar AS di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global memberikan pelemahan nilai tukar hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar rupiah. Dengan upaya stabilisasi yang dilakukan BI, nilai tukar rupiah hingga 16 November terdepresiasi sebesar 8,65% terhadap dolar AS. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang Korea Selatan yang telah melemah 10,3% (ytd) dan mata uang Filipina juga terdepresiasi sebesar 11% (ytd).
(baca: Suku Bunga Bank Indonesia Tergolong Cukup Tinggi di G20)