Nilai kerugian masyarakat akibat investasi ilegal di Indonesia mencapai Rp117,4 triliun dalam satu dekade terakhir.
Puncaknya terjadi pada tahun 2011, dengan kerugian mencapai Rp68,62 triliun. Angkanya kemudian berkurang sebesar 88,4% menjadi Rp7,92 triliun pada 2012. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim penurunan ini terjadi berkat adanya penanganan dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi.
Sejak adanya Satgas, kerugian akibat investasi ilegal selama periode 2012-2021 cenderung menurun.
Menurut OJK, sebaran kasus investasi ilegal terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, dengan kasus terbanyak terjadi di Pulau Jawa.
Adapun, jumlah entitas investasi ilegal yang telah ditangani OJK dalam lima tahun terakhir mencapai 1.053 entitas.
Pada 2017, ada 79 entitas investasi ilegal yang ditangani. Kemudian jumlahnya meningkat 106 entitas pada 2018 dan 442 entitas pada 2019. Pada 2020, jumlahnya menurun menjadi 347 entitas, dan 79 entitas pada 2021.
Menurut catatan OJK, ciri-ciri investasi ilegal adalah sebagai berikut:
Menjanjikan keuntungan tak wajar dalam waktu cepat
Menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru
Memanfaatkan tokoh masyarakat/agama/publik untuk menarik minat berinvestasi
Menyatakan bebas risiko
Legalitas tak jelas, seperti tidak memiliki izin usaha, memiliki izin kelembagaan tapi tak punya izin usaha, dan melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan izin usaha yang dimiliki
OJK juga mencatat ada dua faktor utama penyebab terjadinya kasus investasi ilegal.
Pertama, dari sisi pelaku. Kemajuan teknologi sangat memudahkan pelaku untuk membuat aplikasi, web, dan penawaran melalui media sosial. Mereka juga bisa melakukan promosi digital dari server luar negeri sehingga sulit terlacak.
Kedua, dari sisi masyarakat. Banyak orang yang belum memahami kiat-kiat investasi, sehingga mudah tergiur dengan penawaran investasi berimbal hasil tinggi.