Tingginya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi domestik membuat pemerintah harus mengimpornya dari luar negeri setiap tahun. Hal tersebut kerap memicu defisit neraca perdagangan hasil minyak di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat statistik (BPS), nilai impor hasil minyak Indonesia sebesar US$ 8,28 miliar pada 2020, turun 39,41% dibandingkan tahun sebelumnya. Kendati, nilai ekspor minyak juga menurun 19,15% menjadi US$ 1,46 miliar pada tahun lalu. Alhasil, defisit neraca perdagangan hasil minyak Indonesia sebesar US$ 6,83 miliar pada 2020, berkurang 42,49% dari tahun sebelumnya.
Defisit neraca perdagangan hasil minyak Indonesia pernah mencatat rekor terdalamnya senilai US$ 24,52 miliar pada 2012. Ketika itu, nilai impor hasil minyak mencapai US$ 28,68 miliar, sementara nilai ekspornya hanya US$ 4,16 miliar.
Selama empat tahun setelahnya, defisit neraca hasil minyak terus berkurang seiring dengan nilai impor yang melemah. Defisit neraca hasil minyak sempat kembali meningkat menjadi US$ 16 miliar pada 2018, namun kembali menurun hingga 2020.
Mulai diberlakukannya ebijakan penggunaan campuran bioenergi sebesar 20% pada bahan bakar diesel/solar (B20) mampu menekan defisit neraca perdagangan hasil minyak. Hal itu kemudian dilanjutkan dengan implementasi dari B30.